Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta

Melihat Allah SWT di Dunia & Akherat

Inilah pertanyaan yang telah melahirkan polemik dan perdebatan berkepanjangan di kalangan ahli Kalam (Mutakallimun, Teolog Muslim) dalam sejarah pemikiran Islam. Risalah ini tidak bertujuan untuk mendiskripsikan seluruh perdebatan teologis tersebut. Pemaparan karakteristik iman dalam Islam dalam Risalah terdahulu dapat menjadi pedoman menentukan sikap terbaik, bijak dan lebih ‘aman’ dari pada sekedar mubeng pada wacana dan pemikiran teologis, yang seringkali tidak berujung.

Perbincangan seputar ‘ru’yatullah’ adalah perbincangan tentang sebagian Asma’ Shifat Allah SWT yang tentunya bersifat ghaiby dan tawqify, oleh karena itu akal tak berotoritas untuk menjelaskannya lebih jauh kecuali sebatas apa yang diterangkan oleh ‘nash’ (teks Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW). Mari kita cermati rumusan kaum Salaf tentang tauhid Asma’ Shifat berikut ini:

“Pengakuan dan kesaksian yang tegas tentang Nama-nama Yang Baik dan Shifat-shifat Yang Agung bagi Allah SWT sesuai dengan apa yang diterangkanNya dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam Sunnah, tanpa disertai ‘tamtsil’ (perumpamaan), ‘tasybih’ (penyerupaan), ‘ta’thil’(penafian), ‘tahrif’ (penyimpangan) dan ‘takyif’ (penentuan bentuk atau hakekatnya).”[1]

Rumusan tertera berdasarkan pada firman Allah SWT :

{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }

 “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan ia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”[2]

Batasan makna di atas mengajarkan kita tentang satu substansi bahwa, permasalahan Asma’ Shifatbersifat informatif murni (khabar), yang berkisar pada dua hal; negasi (nafyu) dan afirmasi (itsbat) dari sisi Allah SWT serta dapat disikapi oleh penerima pesan (mukhathab) dengan dua sikap pula; membenarkan (tashdiq) atau mendustakan (takdzib). Mengapa demikian? jelas, karena ini merupakan informasi murni tentang perkara-perkara yang wajib dimiliki oleh Allah SWT dari tauhid dan kesempurnaan sifat serta segala sesuatu yang mustahil bagiNya; syirik, sifat kekurangan dan penyerupaanNya dengan yang sesuatu yang tercipta (makhluq).[3]

Inilah landasan dan prinsip yang kita pegang teguh dalam permasalahan ru’yatullah  yang dipegang teguh oleh kaum Salaf, generasi awal Islam.

Selanjutnya mari kita cermati Petunjuk Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah : 22-23 di bawah ini :

{ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ }

          “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat.”

Apa makna “melihat” (ru’yah) dalam ayat terbaca di atas; apakah melihat dengan mata apa adanya ataukah melihat bermakna metaforis (majazi), sehingga ayat ini tidak bermakna hakekat yang sesungguhnya (haqiqi) ? Mari kita cermati baik-baik penjelasan ini.

 

Lanjut Membaca Selengkapnya ->> (Klik Disini)

Leave a Reply

Scroll to Top